Rabu, 27 Juli 2011


situs Plawangan tinggal nama saja

Posted: Juni 19, 2010 by akuikiaka in Uncategorized
Tag:
” entah keluguan atau kelambanan Pemda dan masyarakat Rembang atau lebih pada rasa kurang sabar di hati saya, tapi lebih dari 33 tahun kita telah menipu dunia dan membiarkan ilmu menghilang di telan zaman “
SITUS purbakala Plawangan di Desa Plawangan, Kecamatan Kragan, Rembang, ditemukan secara tidak sengaja oleh sebuah tim dari Balai Arkeologi Jakarta. Awalnya, tahun 1976 tim di bawah pimpinan Prof Dr Soejono itu tengah melakukan penggalian di sekitar situs batu megalitikum di Desa Terjan,  5 km  selatan Desa Plawangan.
Selama beberapa bulan penggalian, tim tidak menemukan tanda-tanda adanya fosil yang dicari. Pada 1977, seorang warga Desa Plawangan iseng-iseng datang ke Terjan menunjukkan sebuah tulang kepada anggota tim. ”Ternyata tulang itu yang dicari oleh tim dari Balai Arkeologi. Kemudian dari 1977 hingga1983 dilakukan penggalian terus-menerus hingga menemukan ribuan fosil dan benda purbakala,” tutur Junaedi, juru kunci situs Plawangan yang juga ikut membantu penggalian sejak  1977.
Pada tahun 1985 di Desa Plawangan di pesisir utara Jawa Tengah, Kabupaten Rembang tiba-tiba saja gempar dan ramai menjadi pembicaraan orang karena di desa kecil yang mayoritas penduduknya petani ikan atau nelayan tersebut ditemukan dua rangka manusia dikubur dalam nekara perunggu.
Nekara adalah semacam bejana atau “dandang” perunggu yang bentuknya terbalik. Pada umumnya nekara mempunyai berbagai macam ornamen atau hiasan, seperti bentuk bintang, binatang (burung, kodok, kadal, ikan dan sebagainya) serta bentuk-bentuk manusia atau kodok yang sudah distilir. Nekara merupakan produk budaya prasejarah yang berkembang pada masa perundagian (paleometalik) dan berfungsi sebagai sarana dalam upacara keagamaan. Pada umumnya nekara didapatkan dari hasil “temuan lepas” dan penyebarannya hampir meliputi seluruh kepulauan Indonesia, terutama di Indonesia bagian Timur (NTT).
Nekara unik
Temuan nekara perunggu sebagai wadah kubur di Plawangan ini mempunyai keunikan yang jarang ditemui di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara apalagi di dunia. Keistimewaannya, kubur nekara ini ditemukan dalam suatu penggalian (ekskavasi) secara sistematis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang sudah berlangsung tahun 1977-1990. Jadi dapat dipastikan kubur nekara ini merupakan satu-satunya temuan data yang masih “insitu” dan sangat menarik perhatian para ahli, khususnya dalam bidang kepurbakalaan. “Dunia arkeologi” pun mencuat dan menjadi bahan perbincangan hangat di media masa pada waktu itu.
Rangka anak-anak
Nekara perunggu temuan di Situa Plawangan tersebut ternyata merupakan suatu wadah kubur untuk anak-anak. Di dalam nekara tersebut ditemukan rangka anak-anak yang sudah hancur dan berumur antara 8-10 tahun. Di bawah nekara ditemukan lagi satu rangka anak-anak yang lebih muda usianya, yaitu sekitar 4-6 tahun dalam keadaan tertindih oleh nekara dan temuk di bagian kepalanya. Mengapa ada dua rangka anak-anak yang umumnya hampir sebagai dikuburkan dalam nekara perunggu di Plawangan, hal ini masih menjadi tanda tanya dan teka-teki yang belum terpecahkan oleh para ahli prasejarah sampai saat ini.
Ada suatu pendapat menyatakan bahwa rangka anak-anak yang berada di dalam nekara tersebut diduga adalah anak dari salah seorang tokoh masyarakat yang dihormati, sedangkan rangka anak-anak yang terletak di bawah/tertindih oleh nekara adalah pengikut setia atau teman akrab bermainnya yang sengaja dibunuh untuk menemani perjalanan tuannya ke alam baka.
Menurut kepercayaan pada masa prasejarah, seorang tokoh penting dalam masyarakat, seperti misalnya kepala suku, mempunyai pengaruh yang sangat kuat, dihormati dan disegani. Jika ia meninggal dunia, maka dalam penguburannya akan disertakan beberapa bekal kubur yang berharga atau pengikut/pelayan setianya yang rela dibunuh atau dijadikan korban untuk mengikuti perjalanan arwah tuannya. Demikian halnya dengan nekara temuan sebagai kubur di Plawangan tersebut, menunjukkan suatu bukti bahwa paling tidak, orang (anak-anak) yang dikubur tersebut mempunyai status sosial yang tinggi karena nekara merupakan suatu benda yang amat langka dan tinggi nilainya waktu itu.
Situs Plawangan diperkirakan merupakan sebuah “necropolis” atau tempat penguburan dari abad pertama masehi. Dari penggalian di situs itu, menunjukkan manusia Plawangan pada 2000 tahun silam memiliki cara penguburan yang terbilang maju pada zamannya. Tubuh manusia dimasukkan dalam tempayan dan dikubur dalam tanah disertai dengan bekal kubur, seperti manik-manik, periuk, dan kendi.
Nekara Perunggu Bahkan, di tempat ini ada satu temuan langka yang tidak ditemukan di situs lainnya yang berasal pada awal masehi. ”Yaitu penemuan manusia yang dikubur dalam nekara perunggu. Hal ini membuat peneliti kebingungan, karena penemuan nekara perunggu tidak pernah ditemukan di tempat lain. Penemuan  ini juga menunjukkan tingginya budaya manusia Terjan pada awal masehi,” kata bapak tiga anak ini.
Terbungkus Kerang Junaedi menguraikan, berbeda dengan situs lainnya, fosil dan berbagai ornamen yang ditemukan peneliti di situs Plawangan terbilang lebih kaya dan utuh. ”Ini karena fosil dan benda-benda itu terbungkus kerang, sehingga fosil itu tidak mudah rusak dimakan waktu,” katanya.
Mengingat kekayaan yang ada, pada 1980-an Balai Arkeologi sempat menawarkan kepada Pemkab untuk menjadikan situs Plawangan sebagai museum alam purbakala. Namun, Pemkab yang kala itu di bawah kepemimpinan Bupati Suratman tidak menanggapi tawaran itu. Karena tidak ada persetujuan dari Pemkab, Balai Arkeologi akhirnya hanya membeli sebidang tanah yang dipergunakan untuk membangun gedung penyimpan benda-benda temuan penggalian.
Hingga tahun ini, ribuan fosil dan benda temuan yang tersimpan di gedung yang mulai rusak itu banyak yang belum dianalisis. Adapun situs penggalian sekarang sudah berdiri bangunan rumah penduduk dan Puskesmas III Kragan. ”Kalau dibiarkan begini terus, kemungkinan besar situs Plawangan ini hanya tinggal nama saja,” tegasnya.