Selasa, 12 Juli 2011

Sejarah masuknya agama Hindu di Nusantara


Sebelum kedatangan Agama Hindu di Nusantara, masyarakat masih memeluk keyakinan primitif, yaitu Animisme dan Dinamisme. Pengaruh agama Hindu yang paling besar terdapat di pulau Jawa, khususnya diantara suku Jawa. Agama Hindu masuk di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Namun dibeberapa daerah ditemukan adanya bukti-bukti sejarah seperti patung, candi, prasasti dan yang lainnya.
Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5 SM hingga abad ke-7 M, terdapat di kutai (Kalimantan Timur) dan Jawa Barat, dari prasasti-prasasti tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja yang memiliki nama yang berasal dari india. Seperti mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa raja-raja itu adalah orang India. Mungkin mereka orang Indonesia asli, yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Sumber-sumber pengetahuan kita tentang agama Hindu agak terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber agama Buddha.
Maka dari sini untuk memudahkan para pembaca kami bagi menjadi 3 periode tentang sejarah Hindu yang ada di Jawa Timur :
Zaman Mpu Sendok hingga akhir pemerintahan Erlangga (1929-1092 M).
Pada zaman ini agama yang berkembang adalah agama Siwa dan agama Buddha, kedua agama ini sebelumnya sudah berkembang di Jawa Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan agama Buddha menjadi satu, kemudian menjadi nyata di Jawa Timur, dengan adanya keyakinan yang dipadukan antara agama Siwa dengan agama Buddha, serta menyebutnya Siwa-Buddha, bukan lagi Siwa dan Buddha, melainkan Siwa-Buddha menjadi satu Tuhan. Pada masa ini juga telah didapati kepustakaan terkuno yang terdiri dari ayat-ayat dalam sansekerta, yang diikuti oleh keterangan bebas didalam bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dari India.
Zaman kerajaan Kediri dan Singosari (1042-1292 M)
Agama yang berkembang Pada zaman ini adalah agama Wisnu, para raja dianggap sebagai titisan Wisnu. Pada zaman ini kepustakaan Jawa Kuno yang tidak bersifat keagamaan secara khas sangat berkembang sekali. Ada banyak syair kepahlawanan yaitu kepustakaan kakawin.
Zaman kerajaan Majapahit (1293-1528 M)
Pada zaman ini agama yang berkembang adalah sinkretisme dari tiga agama, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Buddha Mahayana. Segala macam upacara keagamaan dalam tiga agama tersebut bisa berjalan secara berdampingan, hal ini menandakan bahwa proses sinkretisme yang menjadikan agama Hindu dan Buddha yang dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam yang ditampakkan oleh satu kebenaran. Proses sinkretisme ini sudah dimulai pada zaman Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman Empu Sendok, Kediri dan Singosari, kemudian mencapai puncaknya pada zaman Majapahit.
Lahirnya Hindu Dharma
Agama Hindu Dharma disebut juga agama Hindu Bali, karena mengingat lahirnya agama tersebut di Bali dan mayoritas pemeluknya adalah masyarakat Bali. Sebelumnya masyarakat Bali menyebut agamanya adalah agama Tirta, keyakinan ini merupakan hasil pencampuran dari agama Hindu Jawa dengan religi Bali asli.
Orang Bali berkeyakinan bahwa alam semesta diatur dan dibagi-bagi menurut sistem tertentu, oleh karenanya seluruh hidup harus disesuaikan dengan tata tertib kosmos tersebut. Mereka menganggap gunung-gunung sebagai tempat kediaman para dewa dan nenek moyang yang sudah didewakan, karena gunung-gunung inilah yang memberikan kesuburan bagi Pulau Bali.
Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan di Bali di mulai dengan kedatangan orang-orang Majapahit di Bali. Menurut orang-orang Bali zaman–zaman terdahulu dianggap atau dipandang sebagai zaman yang gelap dan dikuasai oleh roh-roh jahat, serta makhluk-makhluk yang ghaib.
Kemudian menurut orang-orang Hindu Bali mengenai kedatangan orang-orang Majapahit dipandang sebagai asal yang menciptakan zaman baru, akan tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman Majapahit, di Bali selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap–tahap pertama zaman Mataram kuno (antara tahun 600-1000). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja keturunan Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa kerajaan ini timbul langsung karena pengaruh pada para pedagang Hindu, tetapi ada juga kemungkinan kerajaan ini disebabkan karena pengaruh Mataram.
Pada akhir abad ke-10 M atau awal abad 11 M di Bali memerintah seorang raja Dharmodayana yang berpermaisurikan seorang keturunan Mpu Sendok, Mahendradatta dan yang melahirkan Erlangga, dengan demikian pada waktu itu Bali mulai berhubungan dengan Jawa. Kemudian pada tahun 1284 kartanegara, raja Singosari menaklukkan Bali, penaklukan ini berlangsung kurang lebih seratus tahun, karena pada tahun 1383 Majapahit mengutus tentaranya dibawah pimpinan Gajah Mada menyerbu Bali. Kali ini penaklukannya secara mendalam, bahasa dan kebudayaan Bali adalah kelanjutan bahasa dan kebudayaan Majapahit (Jawa Timur).
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kaum bangsawan berkeyakinan Hindu Jawa yang dicampuri unsur-unsur religi Bali, sedang rakyat berkeyakinan religi Bali asli yang dicampur dengan agama Hindu Jawa. Tetapi aspek kedua agama tersebut saling menjalin. Lantas agama campuran ini tidak memiliki nama, orang Bali sendiri meyakini atau menyebutanya Agama Tirta, salah satu kekurangan pada agama ini adalah tidak adanya kitab dan ajaran yang jelas. Kitab Weda memang sudah ada, tetapi kitab ini tidak diajarkan pada masyarakat. Selain itu nama agama Bali sendiri juga tidak jelas.
Lalu muncul keinginan dari masyarakat Bali untuk membangun agama mereka. Tahun 1939 didirikan sebuah sekolah agama, tepatnya didaerah Tabanan, kemudian pada tahun 1939 berdiri sebuah organisasi yang bernama Trimurti dengan tujuan memperbarui adat agama agar masih relevan dengan zamannya tanpa membuang ajaran pokok agama Hindu. Lahirlah perkumpulan Bali Dharma Laksana di Singaraja, mereka mendekati para pedanda untuk menyusun suatu kitab pegangan yang jelas. Pada zaman penjajahan jepang organisasi Trimurti sudah tidak aktif lagi, lalu mendirikan kembali sebuah perkumpulan Majelis Hinduisme pada tahun 1950. selain itu muncul juga organisasi-organisasi seperti Wiwada Shastra Sabda di Denpasar dan Panti Agama Hindu-Bali di Singaraja.
Lahirnya perkumpulan-perkumpulan tersebut merupakan upaya masyarakat Bali untuk meningkatkan mutu dan kedudukan agama. Pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen Agama RI. Sesudah Agama Hindu-Bali mendapat tempat dikementrian agama dibentuklah suatu Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada Dharma Hindu Bali; kemudian pada tahun 1964 namanya diganti dengan Parisada Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma memiliki 11 cabang, yaitu 8 di bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S perkembangannya sangat pesat, terebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang.