Senin, 22 November 2010

Penemuan fosil-fosil manusia purba

Penemuan fosil manusia purba yang telah dilakukan oleh Dubois pada
akhirnya mendorong penemuan-penemuan selanjutnya yang dilakukan oleh
para peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908, dilakukan upaya penyelidikan
dan penggalian yang dipimpin oleh Selenka di daerah Trinil (Jawa Timur).
Penggalian yang dilakukan oleh Selenka memang tidak berhasil menemukan
fosil manusia. Akan tetapi upaya penggaliannya telah berhasil menemukan
fosil-fosil hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan dukungan
untuk menggambarkan lingkungan hidup manusia Pithecanthropus.
G.H.R von Koenigswald mengadakan penelitian dari tahun 1936 sampai
1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun 1936 Koenigswald
menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari gigi tengkorak
tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5 tahun. Kemungkinan
tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari Pithecanthropus Erectus,
tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo Mojokertensis.
Pada tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak menemukan
bekas-bekas manusia prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus
lainnya. Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui.
Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium
Lembah Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan,
yaitu lapisan Jetis (pleistosen bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil
(pleistosen tengah) dan paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen
atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan jenis manusia purba. Pithecanthropus
Erectus penemuan E. Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan
pleistosen tengah. Pithecanthropus lainnya ada yang di pleistosen tengah
dan ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen bawah terdapat fosil manusia
purba yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus,
dan dinamakan Pithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah
terdapat pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus
Mojokertensis. Jenis Pithecanthropus memiliki tengkorak yang tonjolan
keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol.
Mereka hidup antara 2 setengah sampai 1 setengah juta tahun yang lalu.
Hidupnya dengan memakan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus
masih hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai
memasak, sehingga makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian
mereka masih tinggal di padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan
binatang buas. Oleh karenanya, mereka selalu hidup secara berkelompok.
Pada tahun 1941, von Koeningwald di dekat Sangiran Lembah Sungai
Solo juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar
dan kuat dari rahang Pithecanthropus. Geraham-gerahamnya menunjukkan
corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak pula sifat keranya. Tidak ada
dagunya. Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih tua daripada
Pithecanthropus. Makhluk ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus
(mega = besar), karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakan
hidup pada 2 juta sampai satu juta tahun yang lalu.
Von Koenigswald dan Wedenreich kembali menemukan sebelas fosil
tengkorak pada tahun 1931-1934 di dekat Desa Ngandong Lembah Bengawan
Solo. Sebagian dari jumlah itu telah hancur, tetapi ada beberapa yang
dapat memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu,
tidak ada lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai hasil
temuannya ini merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya
daripada Pithecanthropus Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai
manusia. Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis
(manusia dari Solo).
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah tengkorak di dekat Wajak sebuah
desa yang tak jauh dari Tulungagung, Kediri. Tengkorak ini ini disebut
Homo Wajakensis. Jenis manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 –
210 cm, dengan berat badan kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan
hidung yang masih lebar, mulutnya masih menonjol. Dahinya masih menonjol,
walaupun tidak seperti Pithecanthropus. Manusia ini hidup antara 25.000
sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di Asia Tenggara juga terdapat
jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di Serawak (Malaysia Timur),
Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini dibandingkan jenis sebelumnya
sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat alat-alat dari batu maupun
tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan menangkap binatang
buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang buruannya setelah
dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan dengan cara
dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini menunjukkan
adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan jenis
manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak
penduduk asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis
termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo
Soloensis dan nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia.
Menurut von Koenigswald, Homo Wajakensis seperti juga Homo Solensis
berasal dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali sudah termasuk
jenis Homo Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah sempurna mirip
dengan manusia. Mereka telah mengenal penguburan pada saat meninggal.
Berbeda dengan jenis manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal
cara penguburan.
Selain di Indonesia, manusia jenis Pithecanthropus juga ditemukan di
belahan dunia lainnya. Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina,
di Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus Lautianensis dan di Cina
Utara ditemukan Pithecanthropus Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup
berturut-turut sekitar 800.000 – 500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika,
fosil jenis manusia Pithecanthropus ditemukan di daerah Tanzania, Kenya
dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropus ditemukan
di Jerman, Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil
manusia Pithecanthropus yang terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan
Cina.
Di Australia Utara ditemukan fosil yang serupa dengan manusia jenis
Homo Wajakensis yang terdapat di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil
dari seorang wanita, sebuah rahang bawah, dan sebuah rahang atas dari
manusia purba yang ditemukan di Australia itu sangat mirip dengan manusia
Wajak. Apabila menilik peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial, memperlihatkan bahwa pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan
dengan Australia. Oleh karena itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi
ke Australia dengan menggunakan jembatan penghubung. 

http://id.shvoong.com/humanities/history/2074205-penemuan-fosil-fosil-manusia-purba/