Rabu, 14 September 2011

Proses masuk dan berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia

1. Bukti-bukti Masuknya Islam ke Indonesia

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan di Indonesia, para ahli menafsirkan bahwa agama dan kebudayaan Islam diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 M, yaitu pada masa kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.
Pendapat lain membuktikan bahwa agama dan kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia dibawa oleh para pedagang Islam dari Gujarat (India). Hal ini dilihat dari penemuan unsur-unsur Islam di Indonesia yang memiliki persamaan dengan India seperti batu nisan yang dibuat oleh orang-orang Kambay, Gujarat.

2. Sumber-sumber Berita Masuknya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
Sumber-sumber berita itu di antaranya sebagai berikut.
Berita Arab, berita ini diketahui melalui para pedagang Arab yang telah melakukan aktifitasnya dalam bidang perdagangan dengan bangsa Indonesia. Kegiatan para pedagang Arab di Kerajaan Sriwijaya dibuktikan dengan adanya sebutan para pedagang Arab untuk Kerajaan Sriwijaya, yaitu Zabaq, Zabay, atau Sribusa.
Berita Eropa, berita ini datangnya dari Marcopolo. Ia adalah orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia, ketika ia kembali dari Cina menuju Eropa melalui jalan laut. Ia mendapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan putrinya yang dipersembahkan kepada kisar Romawi. Dalam perjalanannya ia singgah di Sumatera bagian Utara. Di daerah ini ia telah menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Samudera dengan ibukotanya Pasai.
Berita India, dalam berita ini disebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena di samping berdagang mereka aktif mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisir pantai.
Berita Cina, berita ini berhasil diketahui melalui catatan dari Ma-Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulau Jawa.
Sumber dalam negeri, sumber-sumber ini diperkuat dengan penemuan-penemuan seperti:
·    Penemuan sebuah batu di Leran (dekat Gresik). Batu bersirat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah binti Ma’mun (1028).
·    Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 M atau tahun 1297 M.
·    Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419. Jirat makam didatangkan dari Gujarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.
Saluran Penyebaran Islam
Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia atau proses Islamisasi di Indonesia melalui beberapa cara atau saluran, yaitu:
Perdagangan
Sejak abad ke-7 M, para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan perdagangan antara masyarakat dan para pedagang Islam. Di samping berdagang, para pedagang Islam dapat menyampaikan dan mengajarkan agama dan budaya Islam kepada orang lain termasuk masyarakat Indonesia.
Politik
Setelah tersosialisasinya agama Islam, maka kepentingan politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti pula dengan penyebaran agama Islam. Contohnya, Sultan Demak mengirimkan pasukannya untuk menduduki wilayah Jawa Barat dan memerintahkan untuk menyebarkan agama Islam. Pasukan itu dipimpin oleh Fatahillah.
Tasawwuf
Para ahli tasawwuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha untuk menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama-sama di tengah-tengah masyarakatnya. Para ahli tasawwuf ini biasanya memiliki keahlian yang dapat membantu kehidupan masyarakat, di antaranya ahli menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Mereka juga aktif menyebarkan dan mengajarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang mereka lakukan disesuaikan dengan kondisi, alam pikiran, dan budaya masyarakat pada saat itu, sehingga ajaran-ajaran Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat. Ahli tasawwuf yang memberikan ajaran agama Islam yang disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat setempat antara lain Hamzah Fansuri di Aceh dan Sunan Panggung di Jawa.
Perkembangan Islam di Indonesia
Pedagang-pedagang Gujarat yang datang ke Indonesia bukan hanya berdagang, tetapi juga untuk menyebarkan agama yang mereka anut. Karena terdorong ketaatan mereka pada agamanya, mereka langsung mengajarkan pada masyarakat di mana mereka berada. Di samping itu para pedagang yang datang dari Persia juga ikut menyebarkan agam Islam di Indonesia.
Kerajaan Samudera Pasai adalah Kerajaan pertama yang menganut agama Islam di Indonesia, dengan Pasai sebagai pusat pengembangan dan sebagai pusat kegiatan para pedagang Islam di Indonesia. Namun, berkembangnya Malaka sebagai bandar perniagaan di Selat Malaka, menyebabkan kedudukan Pasai semakin mundur dan terdesak karena letak Malaka, jauh lebih strategis dari letak Pasai.
Pada abad ke-14 M, Malaka mulai berkembang sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara. Walaupun pada mulanya Malaka merupakan suatu perkampungan nelayan, akhirnya Malaka menjadi bandar yang sangat ramai.
Makin lama makin besar kekuasaan orang-orang Islam dalam dunia perdagangan di daerah Timur. Orang-orang Gujarat yang menyiarkan pengajaran agama Islam kepada orang-orang Jawa tidak menemui kesulitan, walaupun mereka telah 1000 tahun dipengaruhi oleh kebudayaan India.
Penyebaran agama Islam tidak dilarang atau dirintangi oleh Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-15 M, kekuatan Majapahit mulai hilang. Bandar-bandar perdagangan yang ada di pulau Jawa mulai dikuasai oleh kekuasaan Islam.
Bandar-bandar yang ada di utara pulau Jawa membentuk suatu persekutuan di bawah Raden Patah (bupati Demak). Pada permulaan 16 M, pasukan Demak mengadakan penyerbuan terhadap Kerajaan Majapahit. Seluruh alat kebesaran Majapahit jatuh ke tangan Demak, sehingga Kerajaan Demak berkembang dan menggantikan peranan Kerajaan Majapahit.
Beberapa faktor yang mempermudah perkembangan Islam di Indonesia antara lain sebagai berikut.
·    Dalam ajaran agama Islam tidak dikenal adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai kedudukan yang sama sebagai Hamba Allah. Walaupun demikian, ajaran agama Islam kurang meresap di kalangan Istana, hal ini dibuktikan dengan masih adanya praktek-praktek feodalisme khususnya di lingkungan keraton Jawa.
·    Agama Islam cocok dengan jiwa pedagang. Dengan memeluk Islam maka hubungan di antara para pedagang semakin bertambah erat, sesuai dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa setiap orang itu bersaudara.
·    Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Dengan pendekatan yang tepat, maka bangsa Indonesia dengan mudah dapat menerima ajaran agama Islam.
·    Islam dikembangkan dengan cara damai. Pendekatan secara damai akan lebih berhasil dibandingkan secara paksa dan kekerasan.
Wali Songo
Para wali yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para wali itu adalah sebagai berikut:
a.    Maulana Malik Ibrahim yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
b.    Sunan Ngampel yang semula bernama Raden Rakhmat berkedudukan di Ngampel (Ampel), dekat Surabaya.
c.    Sunan Bonang yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rakhmat dan berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
d.    Sunan Drajat yang semula bernama Masih Munat juga putra Raden Rakhmat yang berkedudukan di Drajat dekat Sedayu (Surabaya).
e.    Sunan Giri yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit Giri Gresik.
f.    Sunan Muria yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
g.    Sunan Kudus yang semula bernama Udung berkedudukan di Kudus.
h.    Sunan Kalijaga yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak.
i.    Sunan Gunung Jati yang semula bernama Fatahillah atau Faletehan yang berasal dari Samudera Pasai. Ia dapat merebut Sunda Kelapa Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.

Pararaton

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab naskahSastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari danMajapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).[1][2] Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.

Daftar isi

 [sembunyikan]

[sunting]Pendahuluan

Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja.[1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskertayadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surgaWisnu.
Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusunyang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudianperampokan danpemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok denganLohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari.

[sunting]Analisa naskah

Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar misalnya C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.[3] Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima lingkup referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan.[1]
Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos.[1]Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, dimana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.
J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti Siwagrha (Śivagŗha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu.[4] Ras menyarankan pengelompokan jenis teks-teks tertentu dari seluruh wilayah Indonesia menjadi suatu genre sastra tersendiri, yaitu 'kronik pemerintahan' atau 'kitab raja-raja', yang merupakan historiografi yang ditulis demi melegitimasi kekuasaan raja.

[sunting]Referensi

  1. ^ a b c d Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography"The Journal of Asian Studies 24 (1): 91–99.
  2. ^ Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  3. ^ C.C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; disebutkan dalam M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, hlm 18 dan 311
  4. ^ J.J. Ras, 2001, Sacral kingship in Java. Dalam: Marijke J. Klokke and Karel R. van Kooij (eds.), Fruits of inspiration. Studies in honour of Prof. J.G. de Casparis, pp. 373-388. Groningen: Egbert Forsten, 2001. [Gonda Indological Studies 11.] ISBN 90-6980-137-X

[sunting]Bacaan lebih lanjut

  • J.L.A. Brandes, 1897, Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit. Uitgegeven en toegelicht. Batavia: Albrecht; 's Hage: Nijhoff. VBG 49.1.
  • J.J. Ras, 1986, Hikayat Banjar and Pararaton. A structural comparison of two chronicles. In: C.M.S. Hellwig and S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian letters (Dordrecht, Cinnaminson: Foris VKI 121, pp. 184-203), ISBN 90-6765-206-7
  • J.J. Ras, 2001, Sacral kingship in Java. In: Marijke J. Klokke and Karel R. van Kooij (eds.), Fruits of inspiration. Studies in honour of Prof. J.G. de Casparis, pp. 373-388. Groningen: Egbert Forsten, 2001. [Gonda Indological Studies 11.] ISBN 90-6980-137-X

[sunting]Lihat pula

[sunting]Pranala luar